Dalam setiap upaya orang untuk menjadi sakti,
lazimnya ada ritual puasa di dalamnya, mungkin 40 hari atau 40 tahun,
terserah aturan yang ditetapkan oleh sang guru. Tentu saja itu puasa
yang jenisnya berbeda dari puasa Ramadan, tetapi bagaimanapun tetap bisa
disebut puasa. Dan beberapa orang benar-benar menjadi sakti dengan
menjalani laku semacam itu, berpuasa dan berpantang dalam sejumlah hal.
Kalaupun tidak bisa menjadi resi, setidaknya ia bisa menyenggol pundak
orang dan mendapatkan seluruh isi dompet orang yang disenggol. Saya kira
itu kecakapan yang bahkan bisa didapatkan tanpa Anda melakukan puasa
sama sekali.
Dulu ada teman saya yang tekun berpuasa Senin-Kamis
beberapa bulan menjelang ujian sekolah. Dan ia masih meneruskannya
sampai tiba waktu ujian masuk perguruan tinggi. Ada juga yang menjalani
puasa pada hari weton-nya, dan ia tidak menjelaskan apa tujuannya. Saya
pernah berpuasa Daud, sehari puasa sehari tidak, ketika kuliah dengan
tujuan agar biaya makan bisa ditekan dan ada sisa lebih banyak untuk
bersenang-senang.
Tampaknya
puasa memang sering terlibat di dalam upaya orang untuk meningkatkan
diri menjadi linuwih, memiliki kecakapan di atas manusia lain. Puasa
nyaris ada dalam setiap agama atau kepercayaan atau dalam laku pribadi
orang-orang untuk mencapai tujuan tertentu: untuk kesaktian,
ketenteraman batin, kematangan spiritual, dan sebagainya. Jika Anda
beragama Islam, Anda tahu bahwa segala keistimewaan yang disematkan pada
bulan Ramadan -penuh berkah, penuh ampunan, lailatul qadar yang setara
dengan seribu bulan, dan sebagainya- menyiratkan betapa pentingnya puasa
sebagai sebuah ''laku".
Dan
rupanya ia penting juga bagi semua saluran televisi. Pada setiap bulan
Ramadan mereka berpuasa dengan cara mereka sendiri: saya akui bahwa saya
sering gagal menahan amarah setiap berpapasan dengan acara-acara
televisi menjelang buka puasa dan pada setiap sahur. Begitu rendahkah
tingkat kecerdasan masyarakat kita sehingga bagi mereka cukup disediakan
acara-acara ber-IQ rendah? Dan kalau memang rendah tingkat kecerdasan
khalayak, apakah tidak berhak mereka mendapatkan acara-acara yang bisa
membantu mereka meningkatkan kecerdasan?
Sebelum
memahami puasa sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu yang linuwih,
sebetulnya saya menjalankan puasa karena orang-orang lain berpuasa. Ada
sejumlah kegembiran kultural yang saya rasakan. Di Semarang, tanah lahir
beta, selalu ada acara dugderan, keramaian semacam pasar malam yang
puncaknya adalah sehari menjelang bulan puasa. Tak ada bulan yang lebih
hebat ketimbang puasa bagi anak-anak.
Di
bulan ini selalu ada es blewah, minuman paling enak di dunia. Di masa
kanak-kanak, saya memiliki pandangan naif bahwa es blewah tidak mungkin
bisa didapatkan pada bulan-bulan lain di luar bulan puasa. Begitupun
kurma. Jangan harap ada kurma di luar bulan puasa. Ketika bertahun-tahun
kemudian saya tahu bahwa es blewah ada juga di bulan-bulan lain, saya
merasakan kenikmatannya agak berkurang, meskipun es blewah tetap enak.
Berkah
lain yang paling ditunggu adalah hari raya. Itu berarti baju baru,
celana baru, uang saweran dari kerabat dan tetangga kiri kanan. Jadi,
saya menyukai bulan Ramadan dan menjalankan puasa dengan fokus pada es
blewah saat berbuka nanti dan baju baru di hari raya Idul Fitri. Dan
saya mendapatkan itu semua.
Mengenai
kekuatan metafisika puasa, saya tidak tahu. Tetapi jelas sekali bahwa
ketika Anda puasa, Anda lebih bisa fokus pada sesuatu. Anda bisa menunda
untuk sementara urusan perut dan bagian bawahnya -katakanlah
insting-insting hewani - juga bagian di atas perut Anda. Anda bahkan
tidak memikirkan sama sekali urusan perut ke bawah dalam rentang waktu
tertentu. Anda membatasi pikiran hanya untuk hal-hal yang baik, sebab
Anda sedang berpuasa dan Anda menyadari Anda sedang berpuasa. Meleset
sedikit pikiran Anda, puasa batal. Konon, Anda hanya akan mendapatkan
haus dan lapar belaka.
Tetapi
bahkan sekadar mendapatkan haus dan lapar pun rasa-rasanya sudah
menyenangkan. Kita tak pernah tahu apakah kita bisa mendapatkan selain
itu. Ketika Anda hanya mendapatkan haus dan lapar dan Anda tahu pada
waktu berbuka nanti ada es blewah, kolak, serabi, kurma, dan pelbagai
makanan yang biasanya tidak ada di meja makan, penantian untuk bisa
menyantap itu semua menjadi hal yang menyenangkan. Waktu terasa sangat
lambat setelah pukul lima atau setengah enam. Dan seperti berhenti sama
sekali pada 15 menit menjelang magrib. Maka, di bulan puasa, saya
memahami relativitas waktu.
Itu
hikmah sepele mengingat saya sudah memulai ''latihan'' puasa sejak
kelas dua SD, seperti kebanyakan teman-teman saya yang lain waktu itu.
Saya ingat bagaimana saya sering meletakkan saputangan basah di
ubun-ubun saya. Dan kami selalu tinggal di masjid lebih lama setelah
salat Jumat dengan niat menelungkupkan tubuh ke lantai masjid,
menempelkan pipi pada dingin lantai masjid yang menyegarkan. Dua jam
menelungkup seperti itu, sampai waktu salat asar tiba, saya mendapati
bahwa biasanya kepala menjadi agak berat dan sulit diangkat. Pipi
inginnya terus menempel di lantai.
Sekarang,
yang saya sedikit heran, kenapa dengan latihan yang saya mulai sejak
usia dini kualitas saya hanya begini-begini saja. Saya tidak mendapatkan
kesaktian untuk bisa mengangkat gunung dan memindahkannya ke tempat
mana pun yang saya suka. Bung Karno mengatakan bahwa ia hanya
membutuhkan 10 pemuda untuk mengguncangkan dunia. Saya kira yang ia
maksud adalah pemuda yang benar-benar khusyuk berpuasa, yakni mereka
yang puasanya makin baik dari waktu ke waktu.
Mungkin
di situ saya gagal. Puasa saya tidak benar. Kualitas puasa saya kian
merosot dibandingkan puasa lugu saya di masa kanak-kanak. Banyak hal
yang semakin mudah mengacaukan pikiran saya. Anda tahu, pada acara
televisi pun saya masih marah. Dengan kata lain, saya keliru dalam
''berlatih" puasa.
Dan
inilah kambing hitamnya: tidak ada yang memberi tahu saya bahwa sebulan
penuh berpuasa di bulan Ramadan pada dasarnya adalah latihan agar kita
bisa berpuasa selama setahun penuh. Maksud saya, berpuasa dan menjaga
perilaku hanyalah sebuah latihan dengan tujuan agar kita memiliki
''perilaku orang puasa'' secara spontan. Anda hanya bisa spontan ketika
Anda cakap. Dan Anda cakap ketika perilaku itu sudah menjadi bagian dari
diri Anda. Ini prinsip pembelajaran yang umum saja.
Seorang
tukang ledeng yang baru belajar tentu akan berusaha keras mengingat
segala yang ia pelajari, memikirkan apa saja agar tidak keliru bertindak
sebagai tukang ledeng, dan ia masih sering keliru karena segala hal
harus dipikir. Ketika ia sudah terampil, ia bisa bekerja tanpa berpikir
lagi. Ia bisa mengerjakan pemasangan ledeng di luar kepala. Ia akan
bekerja lebih cepat, lebih spontan, dan hasilnya lebih baik. Sebab ia
memiliki kecakapan di luar kesadaran.
Anda
sekarang mengerjakan segala bentuk kebajikan di bulan puasa, menjaga
pikiran, ucapan, dan tindakan, mengendalikan emosi negatif, dan
sebagainya, karena Anda sadar bahwa itu semua mungkin bisa membatalkan
puasa Anda. Ketika latihan Anda berhasil, Anda akan bisa melakukan semua
itu secara spontan, dan tidak perlu menduga-duga apakah yang Anda
lakukan itu akan membatalkan puasa Anda. Pikiran Anda secara otomatis
hanya akan memikirkan segala yang baik. Pada saat itu, Anda terampil
dengan ''perilaku puasa'' Anda.
Jadi,
dengan pemikiran bahwa puasa sebulan penuh adalah proses belajar untuk
menjadi terampil, Anda bisa mengukur hasil yang Anda peroleh. Juga hasil
yang diperoleh bangsa ini sebagai sebuah negara Islam terbesar.
Sayangnya, saya sungguh tidak melihat kecakapan rata-rata orang di
negara ini untuk ''berperilaku puasa" dalam keseharian mereka. Dan yang
paling menyedihkan adalah ketika kita tidak menyaksikan perilaku puasa
itu pada para pemegang kekuasaan. Sesungguhnya, di sini kita telah gagal
belajar. Dan ktia gagal menjadi cakap
source : radar tegal
1. Klik select profile --> pilih Name/URL
2. Isi nama kamu dan Kosongkan URL atau isi dengan alamat fb kamu
3. Klik Lanjutkan
4. Ketik komentar kamu,
5. Klik Publish